Solo Butoh

Butoh, sebuah seni gerak yang pada awalnya dirintis di Jepang pada tahun 1950an. Butoh di Jepang muncul seiring bersama gerakan di dunia seni rupa dimana saat kaum avant garde muncul untuk mendobrak konvensionalitas seni pada jaman itu. Seni yang medium utamanya adalah tubuh dan gerak ini memiliki prinsip bahwa tubuh kita menyandang dimensi raga dan nyawa, jasad dan jiwa. Tubuh dalam Butoh menjadi tataran metafora kisah hidup dan mati manusia dalam peradabannya. Tubuh Butoh tidak hanya menjadi pelaku namun juga menjadi wadah sebuah proses untuk menjadi sebuah pemaknaan baru. Butoh mengungkapkan realitas hidup yang tersembunyikan.

Dalam sejarahnya, sejak persinggungan Butoh dengan dunia seni pertunjukan, khususnya tari di Eropa, Butoh diterima lebih sebagai pertunjukan tari. Pergeseran pemaknaan Butoh yang menjadi sebuah tari, menjadi perdebatan bagi kalangan praktisi Butoh.

Pada perkembangannya sekarang, Butoh memberi banyak tawaran dengan berbagai variasinya dari segala jenis alirannya. Bagi sebagian pelaku Butoh, panggung-panggung kecil dan alternatif atau eksperimenal seperti di cafe atau bar, di galeri kecil, ruang-ruang alrenatif, masih menjadi pilihan mereka untuk menampilkan karyanya dalam kesederhanaan. Sementara, banyak juga kelompok-kelompok Butoh yang mengisi panggung-panggung teater besar dan menampilkan Butoh dengan tatanan koreografi yang merujuk pada estetika panggung kontemporer.

Butoh hadir sejak tahun 70-an di Indonesia, melalui beberapa lokakarya yang diberikan di komunitas seni, teater maupun lembaga pendidikan seni pertunjukan. Min Tanaka, Waguri, Yoshito Ohno dan Katsura Kan, adalah tokoh-tokoh yang telah kerap kali hadir dalam pertunjukan maupun pelatihan Butoh. Penularan tehnik dan metode ini banyak disalurkan dalam berbagai bentuk kreasi berbagai pertunjukan tari dan teater di Indonesia. Misalnya seperti kelompok teater tubuh seperti Teater Payung Hitam dari Bandung, adalah salah satu yang nampak banyak mengadaptasi metode ketubuhan Butoh dalam banyak penyajian naskahnya. Di dunia tari pun banyak sekali yang mengadaptasi tubuh Butoh dalam karya-karya kontemporernya, seringnya digabung dengan eksplorasi yang digabungkan dengan pemaknaan baru atas tubuh tradisi. Butoh tidak lagi menjadi kata asing bagi pelaku dan publik seni di tanah air, terutama di tahun delapanpuluhan dan sembilanpuluhan. Namun apresiasi dan kritik nampaknya tidak terjaga dikarenakan menurunnya jumlah pertunjukan Butoh. Lalu bagaimana kita bisa paham tentang sebuah bentuk kesenian tanpa sering mengamatinya?