ON STAGE
20 & 21 September 2019
Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta
RETNO SULISTYORINI
WAKTU LINGKAR dan NOISE
Program ON STAGE menampilkan dua karya koreografi dari Retno Sulistyorini, penerima Hibah Seni Kelola 2019: Waktu Lingkar dan Noise.
Waktu Lingkar terinspirasi dari aktivitas berulang yang menjadi rutinitas membosankan. Segala sesuatu terasa seragam: apa yang terlihat, suasana yang dirasakan, dan waktu yang terpakai. Namun di balik keteraturan itu, rutinitas menyimpan pergolakan batin yang berubah-ubah. Suasana hati berpengaruh besar terhadap ekspresi jiwa dalam mengungkapkan apa yang dirasakan. Karya ini merupakan ekspresi tubuh atas pergulatan batin dalam menghadapi rutinitas sehari-hari. Selain melalui gerak dan tubuh, Waktu Lingkar juga melibatkan elemen vokal. Karya ini pertama kali dipentaskan dalam program Dance in Asia di Teater Arena oleh Retno Sulistyorini bersama Cahwati. Dalam penampilannya kali ini, Retno akan tampil bersama Hana Yulianti.
Sementara itu, karya Noise berangkat dari pengamatan terhadap hiruk-pikuk suasana di sekitar kita. Kebisingan ini sangat memengaruhi kondisi pikiran dan perasaan manusia. Bagi sebagian orang, keriuhan bisa sangat mengganggu dan memicu emosi; namun bagi sebagian lainnya, hal tersebut tidak menjadi persoalan. Dalam penampilannya yang perdana, Noise akan dibawakan oleh David Bima Sakti Perdana, Prasetya Dwi Adi Nugroho, Kristiyanto, Hana Yulianti, dan Yezyuruni Forinti.
ON STAGE
September 20–21, 2019
Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta
Retno Sulistyorini
Waktu Lingkar and Noise
The ON STAGE program presents Waktu Lingkar and Noise, two choreographic works by Retno Sulistyorini, recipient of the 2019 Kelola Arts Grant.
Inspired by the monotony of repetitive daily routines, Waktu Lingkar reflects the internal turbulence that such cycles can evoke. The same sights, feelings, and moments repeat endlessly, breeding emotional disquiet beneath the surface of habit. This piece is a physical expression of the inner struggle against routine, employing both movement and voice. Originally performed in the Dance in Asia program at Teater Arena by Retno Sulistyorini and Cahwati, this second staging features a new duet between Retno Sulistyorini and Hana Yulianti.
This new work, Noise, draws from the artist’s observations of chaotic and noisy environments. Such conditions greatly influence the human psyche—some find the noise disturbing and emotionally draining, while others remain unaffected. Making its premiere in this edition of ON STAGE, Noise is performed by David Bima Sakti Perdana, Prasetya Dwi Adi Nugroho, Kristiyanto, Hana Yulianti, and Yezyuruni Forinti.
Retno Sulistyorini, atau akrab disapa Enno, lahir di Jakarta pada tahun 1981. Ia menempuh pendidikan formal di bidang tari di SMKI Surakarta, lalu melanjutkan studinya di jurusan tari (kepenarian) di ISI Surakarta. Saat kuliah, Enno mulai belajar dari para seniman dan koreografer senior di Surakarta seperti Suprapto Suryodarmo, Mugiyono Kasido, dan Eko Supriyanto. Pengaruh mereka mendorongnya untuk mengubah jalur studinya dari kepenarian menjadi koreografi. Menurut Enno, menjadi koreografer adalah tantangan karena menuntutnya untuk terus mencipta.
Ia memiliki ketertarikan besar terhadap isu-isu perempuan. Setelah menciptakan karya “Pisau” (2000), ia membuat “Nafas” (2003), yang membahas tradisi pingit bagi perempuan Jawa. Bagi Enno, setiap karya adalah entitas yang hidup dan terus berkembang; karenanya, tiap kali dipentaskan, karya tersebut akan berubah bentuk. Contohnya adalah “Pisau” yang selalu ditampilkan dengan format visual yang berbeda setiap kali dipentaskan. Karya tersebut kemudian menginspirasi lahirnya “Ruang dalam Tubuh”, yang mendapat dukungan dari program Empowering Women Artists oleh Yayasan Kelola pada 2010.
Dalam proses kreatifnya, Enno senang mengeksplorasi ruang dan bentuk visual. Dalam karya “Samparan Moving Space”, ia menggabungkan tari dengan sudut pandang dari seni instalasi, seni rupa, dan teater. Karya ini mendapat Hibah Seni Kelola pada tahun 2007 dan menjadi penanda pertunjukan tunggal pertamanya. Karya tersebut membawanya pada berbagai undangan pementasan dan diskusi di beberapa kota di Italia, Belanda, dan Belgia.
Sebagian besar karya Enno berpijak pada pengamatan terhadap keseharian. Pada tahun 2019, ia kembali menerima Hibah Seni Kelola untuk menciptakan karya Waktu Lingkar. Beberapa karya pentingnya antara lain: Waktu Lingkar (2019), Selapan (2018), Kanan dan Kiri (2018), Api (2018), Roman (2016), Garba (2016), Labirin (2015), Pagi yang Dipungut (2013), Klise (2011), Ruang dalam Tubuh (2010), Tubuh Bisu (2009), Samparan Moving Space (2007), Kumari (2006), Nafas (2004), dan Pisau (2000).
Known affectionately as Enno, Retno Sulistyorini was born in Jakarta in 1981. She formally studied dance at SMKI Surakarta and continued in the traditional dance program at ISI Surakarta. During her time at university, she encountered mentors such as Suprapto Suryodarmo, Mugiyono Kasido, and Eko Supriyanto, which eventually inspired her to shift her focus from traditional performance to choreography. For Enno, the role of choreographer is both challenging and creatively fulfilling, demanding constant innovation.
Much of her work centers on women’s issues. Her early piece Pisau (2000) laid the foundation for subsequent works like Nafas (2003), which explores the Javanese tradition of female seclusion (pingit). Enno approaches choreography as a living form—each performance of a piece is an opportunity for transformation. For instance, Pisau has been staged in various visual formats and later inspired Ruang dalam Tubuh, a work developed with the support of Kelola’s Empowering Women Artists program in 2010.
Enno also enjoys spatial and visual exploration. Her acclaimed work Samparan Moving Space blends dance with installation, visual art, and theatre. Supported by the 2007 Kelola Arts Grant, it became her first solo performance and brought her international invitations to perform and speak in Italy, the Netherlands, and Belgium. Rooted in everyday life and human experience, Enno’s works continue to evolve. She received another Kelola grant in 2019 for Waktu Lingkar.
Selected Works:
Waktu Lingkar (2019), Selapan (2018), Kanan dan Kiri (2018), Api (2018), Roman (2016), Garba (2016), Labirin (2015), Pagi yang Dipungut (2013), Klise (2011), Ruang dalam Tubuh (2010), Tubuh Bisu (2009), Samparan Moving Space (2007), Kumari (2006), Nafas (2004), Pisau (2000)
Tentang Kelola
Keanekaragaman seni dan budaya Indonesia adalah kekayaan tak ternilai yang dikagumi dunia. Kreativitas seniman Indonesia, yang terus melahirkan inovasi membanggakan, perlu terus didukung dan dikembangkan. Sebagai organisasi nirlaba berskala nasional, Kelola berkomitmen untuk memastikan bahwa seni dan budaya Indonesia terus hidup dan mampu bersaing di kancah internasional dari generasi ke generasi.
Sejak didirikan pada tahun 1999, Kelola menyediakan peluang belajar, pendanaan, serta akses informasi. Kelola juga membangun kerja sama lintas pelaku seni guna mendorong pertukaran budaya, dialog, dan pengembangan kapasitas melalui jaringan komunitas seni dan budaya di tingkat nasional dan internasional. Program-program Kelola dirancang sebagai respons terhadap kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh komunitas seni rupa, tari, musik, dan teater di Indonesia. Ketika kebutuhan masyarakat seni berubah, maka program Kelola pun akan turut berkembang.
Kelola dapat terus menjalankan program-programnya berkat kemitraan dengan HIVOS, The Ford Foundation, The Asian Cultural Council, The Asialink Centre, Biyan Wanaatmadja, First State Investments Indonesia, para donatur perorangan, serta berbagai organisasi seni dan budaya. Sejak 1999, lebih dari 3.500 seniman dan pekerja seni di bidang tari, musik, teater, dan seni visual telah mendapatkan dukungan dari Kelola untuk berkarya, mengembangkan kapasitas, dan memperluas jejaring mereka.
Tentang ON STAGE dan Studio Plesungan
ON STAGE adalah program rutin dari Studio Plesungan yang diselenggarakan setiap dua bulan di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta. Program ini bertujuan untuk meningkatkan apresiasi publik terhadap karya seni pertunjukan kontemporer melalui pementasan karya dari seniman terpilih dan diskusi publik bersama para seniman. ON STAGE juga dirancang sebagai ruang pertemuan dan jejaring antara pekerja seni independen dan publik seni yang lebih luas.
Studio Plesungan adalah ruang seni nirlaba yang didirikan oleh Melati Suryodarmo pada tahun 2012 di Desa Plesungan, Karanganyar. Studio ini merupakan ruang yang terorganisir dan terbuka untuk riset, proses kreatif, serta presentasi karya, khususnya seni performans, seni rupa, dan seni pertunjukan lainnya. Studio Plesungan juga menjadi tempat bagi pelaksanaan workshop, kuliah terbuka, kajian, diskusi umum, serta program residensi seniman. Studio ini berpijak pada prinsip kedaulatan pengetahuan dan ekonomi bagi para pelaku seni, serta berfokus pada peningkatan sumber daya manusia dalam penciptaan dan produksi pengetahuan.
About Kelola Foundation
Kelola is a nonprofit organization dedicated to fostering Indonesia’s vibrant and diverse arts and cultural heritage. Since 1999, Kelola has supported the development of thousands of Indonesian artists through funding, training, and international exchange opportunities. Its programs are designed in response to the evolving needs of the Indonesian arts community in dance, music, theatre, and visual arts.
Backed by institutions such as HIVOS, The Ford Foundation, The Asian Cultural Council, Asialink, Biyan Wanaatmadja, First State Investments Indonesia, and others, Kelola has empowered over 3,500 artists and cultural workers to grow their practice and networks both locally and internationally.
About ON STAGE
ON STAGE is a regular program by Studio Plesungan, held every two months at Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta. It features performance works by selected artists, followed by public discussions to encourage critical appreciation of contemporary art. The program also serves as a platform to foster dialogue and connections between independent artists and the broader arts community.
About Studio Plesungan
Founded by Melati Suryodarmo in 2012 in the village of Plesungan, Karanganyar, Studio Plesungan is a nonprofit art space dedicated to research, creative processes, and the presentation of works—particularly in performance art, visual art, and interdisciplinary practices. It hosts workshops, lectures, open discussions, and artist residency programs. Guided by the principles of knowledge sovereignty and economic sustainability for artists, the studio is committed to supporting artistic creation and the production of critical discourse.