ON STAGE
LI TU TU
oleh AYU PERMATA SARI
Hari/Tanggal: Selasa, 26 November 2019
Waktu: Pukul 19.30 WIB
Artist Talk: Pukul 20.45 WIB
Tempat: Galeri Kecil – Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta
Jl. Ir. Sutami 57, Kentingan, 57126 Surakarta
Li Tu Tu berangkat dari eksplorasi motif gerak tangan melempar dan menahan piring kecil dengan ibu jari dalam tari Kuadai—tari tradisional yang berasal dari suku Semendo, Lampung Utara. Dalam proses kreatifnya, Ayu melakukan riset mendalam terhadap adat dan tradisi masyarakat Semendo, hingga menemukan konsep Tunggu Tubang—sebutan untuk anak perempuan pertama dalam keluarga yang memegang peran penting sebagai penjaga dan pengendali harta keluarga serta menjadi pusat tempat kembali dan berkumpulnya keluarga.
Gerakan menahan piring dalam tari Kuadai kemudian dibaca oleh Ayu sebagai simbol tarik-ulur antara hak istimewa (privilege), tanggung jawab, kekuatan, sekaligus pembatasan yang dialami oleh seorang Tunggu Tubang.
Dalam karya ini, Tunggu Tubang menjadi spirit utama yang diolah Ayu melalui medium gerak tari Kuadai. Dalam proses eksplorasi, baik sang koreografer maupun dua penari—laki-laki dan perempuan—mengalami perjumpaan personal dengan makna gerak tersebut. Sepuluh variasi dari motif gerak tangan melempar piring dihadirkan, membangkitkan ingatan tentang kesetaraan, komunikasi, dan keseimbangan.
Karya ini sekaligus melemparkan sebuah pertanyaan kepada penonton: Bagaimana jika kemungkinan makna dalam karya ini juga dibuka kepada penonton? Apakah pengalaman dan ingatan personal mereka akan turut muncul dalam interpretasi mereka atas Li Tu Tu?* Dengan semangat itu, karya ini menawarkan ruang tafsir yang terbuka, tanpa menghilangkan pijakan konseptual pada Kuadai dan Tunggu Tubang sebagai fondasi dan jiwa karya.
ON STAGE
LI TU TU
by AYU PERMATA SARI
Date: Tuesday, 26 November 2019
Time: 7:30 PM (WIB)
Artist Talk: 8:45 PM (WIB)
Venue: Galeri Kecil – Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta
Jl. Ir. Sutami 57, Kentingan, 57126 Surakarta
Li Tu Tu emerges from the choreographic motif of throwing and holding a small plate using the thumb—a gesture found in Kuadai, a traditional dance from the Semendo people of North Lampung. In her creative process, Ayu conducted an in-depth exploration of Semendo customs and cultural practices, leading her to the concept of Tunggu Tubang—a title given to the first-born daughter in a Semendo family who bears the role of protector and manager of the family’s wealth, and serves as a central figure to whom the family returns and gathers around.
The act of holding the plate in Kuadai became a symbolic expression for Ayu—one that visualizes the tension between privilege, responsibility, strength, and the constraints placed upon the Tunggu Tubang.
In this work, Tunggu Tubang forms the core spirit, while the dance motif from Kuadai serves as its vehicle. During the creative exploration, both the choreographer and the two performers—a male and a female dancer—found deeply personal resonance within the gestures. The ten variations of the plate-throwing hand movement evoked memories of equality, communication, and balance.
This performance poses a question to the audience: What happens if the potential meanings of this work are also opened to them? Would their own personal memories and experiences surface through their interpretation of Li Tu Tu? In this spirit, the work invites open interpretation, while still anchoring itself to Kuadai as the medium and Tunggu Tubang as its soul. The audience’s experience is placed on equal footing with the work itself.
Ayu Permata Sari lahir pada tahun 1992 di Kotabumi, Lampung Utara. Ia berasal dari kelompok suku Pepadun, salah satu dari dua kelompok etnis utama di Lampung, dan beragama Islam. Ayu mulai belajar menari sejak usia sembilan tahun bersama Studio Tari Komunitas Cangget Budaya pada tahun 2000, yang hingga kini masih menjadi bagian dari perjalanannya.
Ia menempuh pendidikan tari di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, mengambil jurusan Koreografi pada 2010–2014 dan melanjutkan studi pascasarjana di kampus yang sama pada 2014–2016. Pada tahun 2016, ia mendirikan Ayu Permata Dance Company di Yogyakarta sebagai ruang untuk mengembangkan praktik artistiknya dan menjalin kolaborasi.
Karya-karyanya telah ditampilkan di berbagai forum internasional, antara lain residensi di Leuven dan Brussels (Belgia) dalam rangka Europalia Arts Festival (2017), serta penghargaan “Jasa Bakti” untuk karya Kami Buta dari Asian Technology Festival di Johor, Malaysia (2018). Karya TubuhDang TubuhDut ditampilkan dalam Indonesia Dance Festival (2018), serta menjadi bagian dari residensi di Dance Nucleus, Singapura, yang turut dipresentasikan di Jejak-Tabi Exchange di Yogyakarta dan Kuala Lumpur.
Tahun 2019 menjadi tahun penting baginya, dengan partisipasi dalam program Helatari oleh Komunitas Salihara, Dance Lab di Rimbun Dahan (Malaysia), Festival Setouchi Triennale di Shodoshima (Jepang), Asia Tri di Akita (Jepang), serta keikutsertaannya dalam Spielart Theater Festival di Munich, Jerman.
Ayu Permata Dance Company (APDC) adalah kelompok seni pertunjukan yang secara khusus fokus pada seni tari kontemporer. Didirikan oleh Ayu Permata Sari pada tahun 2016 di Yogyakarta, APDC hadir sebagai wadah untuk mendorong, mendampingi, dan mendukung proses kreatif Ayu maupun para kolaboratornya.
APDC memiliki semangat untuk membagikan pengetahuan seputar seni tari melalui karya, kelas ketubuhan, diskusi, serta lokakarya. Kelompok ini aktif dalam berbagai festival dan kegiatan seni di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Dalam proses kreatifnya, APDC kerap berkolaborasi lintas disiplin, mencakup seni bayangan (shadow puppet), teater, seni rupa, musik, instalasi, hingga sastra.
Beberapa karya yang telah diproduksi oleh APDC antara lain: HAH, Kaganga, Marka, Kami Bu-Ta, Li Tu Tu, TubuhDang TubuhDut, dan X.
Born in 1992 in Kotabumi, North Lampung, Ayu Permata Sari belongs to the Pepadun community, one of the two major ethnic groups in Lampung, and is of the Islamic faith. She began dancing at the age of nine with the Cangget Budaya community dance studio in 2000, where she remains active to this day.
She studied choreography at the Indonesian Institute of the Arts (ISI) Yogyakarta, completing her undergraduate studies between 2010–2014, followed by a master’s degree at the same institution from 2014–2016. In 2016, she founded Ayu Permata Dance Company (APDC) in Yogyakarta as a platform to support and cultivate her artistic practice and collaborative projects.
Her works have been presented internationally, including a residency in Leuven and Brussels (Belgium) as part of the Europalia Arts Festival in 2017. Her piece Kami Buta received the “Jasa Bakti” award at the Asian Technology Festival in Johor, Malaysia (2018). TubuhDang TubuhDut was showcased at the Indonesia Dance Festival (2018), and further developed during her residency at Dance Nucleus, Singapore. The work was also presented at Jejak-Tabi Exchange in both Yogyakarta and Kuala Lumpur.
In 2019, Ayu received the Helatari grant from Komunitas Salihara, participated in the Dance Lab at Rimbun Dahan (Malaysia), the Setouchi Triennale in Shodoshima (Japan), and Asia Tri in Akita (Japan). That same year, she performed TubuhDang TubuhDut at the Spielart Theater Festival in Munich, Germany.
Ayu Permata Dance Company (APDC) is a contemporary performance collective with a focus on dance. Officially founded in 2016 by Ayu Permata Sari in Yogyakarta, APDC serves as a platform to nurture and support her artistic processes and those of her collaborators.
APDC is committed to sharing knowledge about the art of dance through creative works, embodiment classes, discussions, and workshops. The company actively participates in local, national, and international festivals and arts events. In its practice, APDC often collaborates across disciplines, including shadow puppetry, theater, painting, music, installation, and literature.
Notable works by APDC include: HAH, Kaganga, Marka, Kami Bu-Ta, Li Tu Tu, TubuhDang TubuhDut, and X.