SOLO BUTOH #2
17 – 20 December 2019
Studio Plesungan and Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta
TONY BROER, YUKO KASEKI, NORIKO OMURA, KATSURA KAN, SUPRAPTO SURYODARMO, JAMALUDDDIN LATIF, WENDY HS, AKI BANDO, KYOKO YAMAMOTO
MUSIC : JAGAD SENTANA ART – PENI CANDRARINI
Solo Butoh #2
Butoh, sebuah seni gerak yang pada awalnya dirintis di Jepang pada tahun 1950an. Butoh di Jepang muncul seiring bersama gerakan di dunia seni rupa dimana saat kaum avant garde muncul untuk mendobrak konvensionalitas seni pada jaman itu. Seni yang medium utamanya adalah tubuh dan gerak ini memiliki prinsip bahwa tubuh kita menyandang dimensi raga dan nyawa, jasad dan jiwa. Tubuh dalam Butoh menjadi tataran metafora kisah hidup dan mati manusia dalam peradabannya. Tubuh Butoh tidak hanya menjadi pelaku namun juga menjadi wadah sebuah proses untuk menjadi sebuah pemaknaan baru. Butoh mengungkapkan realitas hidup yang tersembunyikan.
Dalam sejarahnya, sejak persinggungan Butoh dengan dunia seni pertunjukan, khususnya tari di Eropa, Butoh diterima lebih sebagai pertunjukan tari. Pergeseran pemaknaan Butoh yang menjadi sebuah tari, menjadi perdebatan bagi kalangan praktisi Butoh.
Pada perkembangannya sekarang, Butoh memberi banyak tawaran dengan berbagai variasinya dari segala jenis alirannya. Bagi sebagian pelaku Butoh, panggung-panggung kecil dan alternatif atau eksperimenal seperti di cafe atau bar, di galeri kecil, ruang-ruang alrenatif, masih menjadi pilihan mereka untuk menampilkan karyanya dalam kesederhanaan. Sementara, banyak juga kelompok-kelompok Butoh yang mengisi panggung-panggung teater besar dan menampilkan Butoh dengan tatanan koreografi yang merujuk pada estetika panggung kontemporer.
Butoh hadir sejak tahun 70-an di Indonesia, melalui beberapa lokakarya yang diberikan di komunitas seni, teater maupun lembaga pendidikan seni pertunjukan. Min Tanaka, Waguri, Yoshito Ohno dan Katsura Kan, adalah tokoh-tokoh yang telah kerap kali hadir dalam pertunjukan maupun pelatihan Butoh. Penularan tehnik dan metode ini banyak disalurkan dalam berbagai bentuk kreasi berbagai pertunjukan tari dan teater di Indonesia. Misalnya seperti kelompok teater tubuh seperti Teater Payung Hitam dari Bandung, adalah salah satu yang nampak banyak mengadaptasi metode ketubuhan Butoh dalam banyak penyajian naskahnya. Di dunia tari pun banyak sekali yang mengadaptasi tubuh Butoh dalam karya-karya kontemporernya, seringnya digabung dengan eksplorasi yang digabungkan dengan pemaknaan baru atas tubuh tradisi. Butoh tidak lagi menjadi kata asing bagi pelaku dan publik seni di tanah air, terutama di tahun delapanpuluhan dan sembilanpuluhan. Namun apresiasi dan kritik nampaknya tidak terjaga dikarenakan menurunnya jumlah pertunjukan Butoh. Lalu bagaimana kita bisa paham tentang sebuah bentuk kesenian tanpa sering mengamatinya?
Solo Butoh #2 menampilkan karya-karya pertunjukan solo oleh seniman yang menjadikan butoh sebagai praktik kesenian dan metode ketubuhan untuk publik di kota Solo.
Studio Plesungan menyelenggarakan Solo Butoh #2 untuk menjalin kembali mata rantai pengetahuan yang terputus tentang Butoh dan pengaruhnya di tanah air. Solo Butoh #2 menghadirkan para seniman butoh berpengalaman untuk menampilkan karyanya dalam sebuah pertunjukan, dan memperkenalkan kembali butoh melalui dua hari workshop. Rangkaian kegiatan ini merupakan ajang pembelajaran yang memberi kesempatan dan ruang untuk mempelajarinya dan mengapresiasi karya-karya Butoh. Selain sebagai salah satu pilihan yang bisa ditawarkan bagi mereka yang haus akan pengetahuan lain tentang tubuh dan ketubuhan, mengenal Butoh dengan lebih dekat akan memberi kontribusi tentang asal usul pengaruh gerak yang nampak tidak asing ini di dunia tari dan teater kita.
Studio Plesungan mengundang Katsura Kan, Yuko Kaseki, Noriko Omura, Kiyoko dan Aki serta seniman Indonesia yaitu Tony Broer, Wendy HS dan Jamaluddin Latif.
Katsura Kan, salah satu tokoh dan guru Butoh yang telah sering mengunjungi Indonesia sejak tahun 80-an. Diawali dengan workshop yang telah Katsura Kan berikan di tahun 2014 dalam rangkaian acara „undisclosed territory #7“, dan Solo BUtoh #1 di tahun 2017, kali ini Kan hadir khusus untuk memberi workshop dan mengajak para pesertanya untuk mendalami materi ketubuhan dan tehnik dalam Butoh. Peserta diharapkan bisa menadapatkan perbendaharaan ilmu ketubuhan yang bisa digunakan dalam pengembangan proses kreatifnya masing-masing.
Selain menghadirkan seniman dan praktisi butoh yang kebanyakan laki-laki, pada kesempatan ini Studio Plesungan mengundang Yuko Kaseki yang merupakan seniman butoh sekaligus koreografer yang tinggal di Jerman sejak 1995, Kaseki mempelajari Butoh dan Seni Pertunjukan di HBK Braunschweig melalui Anzu Furukawa dan sempat menjadi penari di dance company Furukawa yaitu Dance Butter Tokio dan Verwandlungsamt pada 1989 hingga 2000. Kaseki mendirikan dance company yaitu Cokaseki. Kaseki dengan ketertarikannya menerjang batasan-batasan ekspresi fisik telah terlibat proyek internasional dengan penampil, musisi dan seniman visual lainnya. Pada Solo Butoh #2 ini Kaseki menampilkan karyanya yang berjudul “Sliced Water”.
Seniman undangan yang berasal dari Indonesia Tony Broer akan menghadirkan kegiatan “Ngaji Tubuh” yang merupakan kegiatan proses mengalami tubuh di ruang terbuka dan eksplorasi penciptaan tubuh di Studio Plesungan. Tony Broer merupakan salah satu anggota Kelompok Teater Payung Hitam (KPH) Bandung yang pernah mendapat beasiswa dari Bunka-Cho untuk belajar Seni Tradisi dan Seni Modern di Jepang. Selama proses belajar di Jepang ini, berkenalan dengan beberapa tokoh Butoh dan sempat mengikuti workshop di beberapa studio Butoh yang ada di Jepang seperti : Butoh Kohzensha pimpinan Yukio, Butoh Dance Sankai Juku pimpinan Amagatsu Ushio dan Semimaru, Butoh Dairakudakan pimpinan Maro Akaji, dan Asbestos Tatsumi Hijikata pimpinan Akiko Motofuji. Tony Broer banyak belajar dari Kazuo Ohno Dance Studio pimpinan Kazuo Ohno, dengan proses latihan langsung dibimbing oleh Kazuo Ohno (96 tahun) sendiri, dan putranya yaitu Yoshito Ohno.
Menghadirkan pula Wendy HS yang merupakan aktor, sutradara dan dramaturg Teater Tambologi Padangpanjang dan merupakan salah satu pendiri Indonesia Performance Syndicate. Wendy HS akan menampilkan karya solo nya yang bertolak dari pengamatan dan pengembangan tradisi Makan Bajamba (makan bersama) dan tradisi Tari Piriang dalam produk budaya Minangkabau.
Seniman selanjutnya yaitu Jamaluddin Latif belajar dan bekerja di teater sejak 20 tahun yang lalu. Lulus Akademi Drama dan Film, ASDRAFI, Yogyakarta. Sempat belajar di Institute Seni Indonesia, Yogyakarta. Pernah terlibat di beberapa karya-karya TEATER GARASI sebagai aktor (1997-2010). Jamaluddin Latif akan menampilkan karyanya yang berjudul “Hanky of Sulandono”, yang mengisahkan Sulandono, Seorang pangeran itu mesti bertapa, meninggalkan kisah cintanya dengan seorang gadis desa, Sulasih. Kisah asmara dua insan manusia tanpa mempermasalahkan status yang berbeda itu terhambat oleh restu ayanda pangeran Sulandono, Raden Bahurekso.
Solo Butoh #2 juga menampilkan Aki Bando, Noriko Omura dan Kiyoko Yamamoto yang berkolaborasi dengan Jagad Sentana Art dan Peni Candrarini Gamelan. Aki Bando dengan latar belakang pendidikan seni rupa, khususnya seni patung sebelumnya banyak mengangkat “jamur” dan “mycelium” dalam karya seninya. Noriko Omura, presiden BUTOH TOSAHA menampilkan karya improvisasi yang berjudul “On the Beach”. Lalu Kiyoko Yamamoto yang merupakan presiden Takasago Butoh Co-op akan menampilkan karyanya yang berjudul “Dream Catcher”.
Pada kesempatan ini SOLO BUTOH #2 menghadirkan Suprapto Suryodarmo dengan karyanya yang berjudul “Anjang-anjang Banyu”, pendiri Padepokan Lemah Putih yang tinggal dan bekerja di Solo. Sejak 1970, Suprapto Suryodarmo telah mempelajari gerakan bebas, Vipasana dan Sumarah (teknik meditasi Jawa. Dia telah mengembangkan teknik dan ajaran gerakan yang disebut Gerakan Amerta. Penampilan Suprapto Suryodarmo berakar kuat pada esensi ritual dan hubungannya dengan sifat dan spiritualitas. Ia menggunakan teknik Gerakan Amerta sebagai elemen utama penampilannya.
Solo Butoh #2
Butoh is a movement-based art form that first emerged in Japan in the 1950s. It arose in parallel with avant-garde movements in the visual arts, challenging the conventions of its time. Centered on the body and its movements, Butoh is grounded in the belief that the body holds both the physical and the spiritual dimensions—flesh and soul, corporeality and spirit. In Butoh, the body becomes a living metaphor for human stories of life and death throughout civilization. The body is not only an actor but also a vessel for transformative processes and the birth of new meaning. Butoh reveals the hidden realities of existence.
Historically, as Butoh intersected with the world of performing arts, especially dance in Europe, it came to be more widely recognized as a form of dance. This shift in perception has sparked ongoing debate among Butoh practitioners about its true essence.
Today, Butoh offers a wide range of variations across different schools and styles. For some practitioners, intimate and alternative venues—such as small galleries, cafes, bars, and experimental spaces—remain ideal settings for presenting their work in its raw simplicity. Others have brought Butoh to larger stages, adapting it into choreographed performances that align with contemporary theatrical aesthetics.
Butoh was introduced to Indonesia in the 1970s through workshops conducted within art communities, theater groups, and performing arts institutions. Pioneering figures such as Min Tanaka, Waguri, Yoshito Ohno, and Katsura Kan played significant roles in disseminating Butoh practices here. Their techniques and methods have been absorbed and adapted across various Indonesian dance and theater productions. Theater groups like Teater Payung Hitam from Bandung are notable examples, heavily integrating Butoh’s corporeal methods into their performances. Likewise, many contemporary dance artists have blended Butoh-inspired movements with traditional forms, creating new interpretations of the body in performance. By the 1980s and 1990s, Butoh was no longer foreign to Indonesian artists and audiences, though appreciation and critical discourse have diminished along with the decline in Butoh performances. Yet, how can we truly understand an art form without consistently experiencing it?
Solo Butoh #2 presents solo performances by artists who have embraced Butoh as a core artistic practice and embodied method for the public in the city of Solo.
Organized by Studio Plesungan, Solo Butoh #2 seeks to reconnect and revitalize the broken chain of knowledge surrounding Butoh and its influence in Indonesia. This program features experienced Butoh artists showcasing their work through performances and a two-day workshop series. It offers a rare opportunity for learning and appreciation, providing valuable insights for those seeking alternative understandings of the body and embodiment. Reengaging with Butoh allows for a deeper recognition of the often-unseen origins of movement that continue to shape our dance and theater practices.
Studio Plesungan proudly invites internationally and nationally renowned Butoh artists: Katsura Kan, Yuko Kaseki, Noriko Omura, Kiyoko Yamamoto, Aki Bando, and Indonesian artists Tony Broer, Wendy HS, and Jamaluddin Latif.
Katsura Kan, a prominent Butoh master who has been visiting Indonesia since the 1980s, will lead workshops focusing on corporeal material and Butoh techniques. Following his earlier engagements during Undisclosed Territory #7 (2014) and Solo Butoh #1 (2017), this return offers participants the chance to deepen their understanding of body knowledge essential for developing their creative processes.
Alongside male Butoh practitioners, Studio Plesungan also presents Yuko Kaseki, a Butoh artist and choreographer based in Germany since 1995. Kaseki studied Butoh and Performing Arts at HBK Braunschweig under Anzu Furukawa and danced with Furukawa’s companies—Dance Butter Tokyo and Verwandlungsamt—between 1989 and 2000. She later founded her own company, Cokaseki. With her passion for transcending physical expression boundaries, Kaseki has collaborated internationally with performers, musicians, and visual artists. At Solo Butoh #2, she will perform her solo piece, Sliced Water.
From Indonesia, Tony Broer, a member of Bandung’s Teater Payung Hitam, will present Ngaji Tubuh—an open-air body exploration and creative experience at Studio Plesungan. Tony Broer, a former Bunka-Cho scholarship recipient in Japan, studied both traditional and contemporary Japanese arts. He trained in various Butoh studios, including Butoh Kohzensha (led by Yukio Waguri), Sankai Juku (led by Ushio Amagatsu and Semimaru), Dairakudakan (led by Maro Akaji), and Asbestos Tatsumi Hijikata Studio (led by Akiko Motofuji). Broer also studied intensively at Kazuo Ohno Dance Studio, guided personally by Kazuo Ohno and his son, Yoshito Ohno.
Wendy HS, an actor, director, and dramaturg from Teater Tambologi Padangpanjang, and a co-founder of the Indonesia Performance Syndicate, will present a solo work inspired by the Minangkabau traditions of Makan Bajamba (communal dining) and Tari Piriang (Plate Dance).
Jamaluddin Latif, an experienced theater artist with a 20-year background, will present Hanky of Sulandono, a performance based on the legend of Sulandono—a prince who, torn between love and duty, leaves his beloved Sulasih to undergo spiritual meditation. Jamaluddin Latif previously studied at ASDRAFI (Academy of Drama and Film) and the Indonesian Institute of the Arts (ISI) in Yogyakarta and was active with Teater Garasi.
Solo Butoh #2 also features Aki Bando, Noriko Omura, and Kiyoko Yamamoto, collaborating with Jagad Sentana Art and Peni Candrarini Gamelan.
-
Aki Bando, with a background in sculpture, draws inspiration from natural elements such as fungi and mycelium in her works.
-
Noriko Omura, president of Butoh Tosaha, presents an improvisational piece titled On the Beach.
-
Kiyoko Yamamoto, president of Takasago Butoh Co-op, will perform Dream Catcher.
This edition of Solo Butoh #2 also honors the presence of Suprapto Suryodarmo, founder of Padepokan Lemah Putih in Solo, who will perform Anjang-anjang Banyu. Since the 1970s, Suprapto has explored free movement, Vipassana, and the Javanese meditation practice Sumarah, developing the philosophy of Amerta Movement. His performance is deeply rooted in ritualistic essence and spiritual connection with nature, with Amerta Movement forming the core of his practice.
17 – 18 . 12. 2019
at Studio Plesungan
BUTOH WORKSHOP
with Katsura Kan and Yuko Kaseki
17 – 18. 12. 2019
at Studio Plesungan
NGAJI TUBUH by Tony Broer and friends
18.12.2019
at Studio Plesungan
LECTURE by Katsura Kan
19.12.2019
at Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta
PERFORMANCES
Katsura Kan, Wendy HS, Aki Bando, Kiyoko Yamamoto
Music by Peni Candrarini and Jagad Sentana Art
20.12.2019
at Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta
PERFORMANCES
Yuko Kaseki, Noriko Omura, Jamaluddin Latif, Suprapto Suryodarmo
Music by Peni Candrarini and Jagad Sentana Art
SOLO BUTOH #2
WORKSHOP
17 – 18 DEC 2019
YUKO KASEKI
KATSURA KAN
at Studio Plesungan
KATSURA KAN
LISTENING WITH THE BODY
Dalam kehidupan kita sehari-hari, ada „tingkah laku misterius „ manusia yang tersembunyikan. Namun kita selalu memperbaiki cara kita untuk „mengamati“ dan menuainya di panggung. Dalam workshop ini, Katsura Kan akan memberi materi berdasarkan Kan Butoh Notation (Notasi Butoh Kan). Dengan pendekatan yang menggunakan notasi ini Katsura Kan akan mengajak pesertanya untuk melakukan eksplorasi gerak melalui beberapa tahap. Observasi pertama yang akan dilakukan adalah mengamati kehidupan sehari-hari. Observasi ini dikenal dalam pendekatan dari kebanyakan Butoh sebagai sumber gerak.
Tahap kedua, notasi Kan akan mengajak peserta untuk membangkitkan „suara“ dari dalam tubuh, dan memasuki sisi lain dari kenyataan. Pengalaman ini akan membimbing peserta untuk menemukan notasi Butohnya masing-masing. Katsura Kan akan memperkenalkan YuYa, sebuah teks yang menemani teknik tari tradisi Jepang Noh yang telah menjadi salah satu sumber Butoh.
Katsura Kan bekerja dan tinggal di Kyoto. Keterlibatan serius dalam Butoh dimulainya dengan menjadi anggota „Byakosha“ kelompok Butoh dari Kyoto pada tahun 1979. Masih pada masa Byakosha, Kan mendirikan “Katsura Kan & Saltimbanques” pada tahun 1986. Sejak saat itu, Kan banyak melakukan proyek studi dengan seniman-seniman asia dan mengadakan Festival Lokakarya Internasional “Harvesting Beauty in the field” di Kyoto 1991 ~ 1994. Pada tahun 1997, Kan pindah ke Bangkok untuk mencari jejak Gajah Putih di masyarakat pra-modern dan berkolaborasi dengan kelompok-kelompok teater kontemporer asia.Pada tahun 2001, Kan memulai proyek penelitian tentang “minoritas” untuk berkolaborasi di Bosnia, Serbia dan Yunani. Tahun 2013, dia mengerjakan teks Samuel Beckett yang berjudul “Beckett Butoh Notation”. Katsura Kann terus memberi lokakarya dan pertunjukan Butoh di berbagai negara.
www.facebook.com/kanbutoh
YUKO KASEKI
AKAR DAN TUNAS – MOMENTUM ABADI
„Yang utama adalah bukan tentang dari mana asal motivasi saya, namun lebih tentang bagaimana bisa mengatur untuk bisa bertahan „ – Louise Bourgeois
Hidup adalah improvisasi, setiap momen adalah baru.
Kita membutuhkan air dan udara, tanah dan langit, alat dan ketrampilan, imajinasi dan pragmatisme, spontanitas dan perencanaan, struktur dan kebebasan yang kacau. Terkadang kita perlu menggunakan semua yang kita miliki dan pada saat yang sama melepaskan semua yang kita miliki.
Bertahan adalah permainan yang serius, di mana orang akan menemukan cara hidup yang baru.
Kejutkan diri Anda, apa yang bisa muncul di dalam diri Anda … tunggu, apa yang bisa tiba di sekitar Anda …
Mainkan untuk menemukan buah yang tidak dikenal.
Workshop ini terbuka untuk semua orang yang ingin mengamati dan menantang diri mereka yang lebih dalam dan yang memiliki rasa ingin tahu, keberanian dan keinginan untuk mengeksplorasi gerakan dan ekspresi melalui tubuh performatif
Yuko Kaseki adalah direktur, koreografer seniman butoh sekaligus koreografer yang tinggal di Jerman sejak 1995, Kaseki mempelajari Butoh dan Seni Pertunjukan di HBK Braunschweig melalui Anzu Furukawa dan sempat menjadi penari di dance company Furukawa yaitu Dance Butter Tokio dan Verwandlungsamt pada 1989 hingga 2000. .Kaseki mendirikan dance company yaitu Cokaseki pada 1995 dan dia terlibat dalam berbagai proyek dengan musisi internasional seperti Kazuhisa Uchihashi, Antonis Anissegos, Emilio Gordoa, Audrey Chen, Axel Dörner dan lainnya, seniman visual seperti Chiharu Shiota, Nikhil Chopra, Arata Mori dan lainnya, penari / pemain seperti Shinichi Iova Koga, Minako Seki, Christine Bonansea, Isak Immanuel, Sherwood Chen dan lainnya.
Pertunjukan solo dan ansambel, improvisasi dilakukan di 30 negara. Kreasi-kreasi ini adalah akumulasi dari gambar-gambar puitis dan gamblang yang menggabungkan semangat Butoh, pertunjukan dan live art. Penampilannya bertujuan untuk mencerminkan keberadaan “orang luar”.
Kolaborasi dengan Disabled Theatre Company Theatre Thikwa (Berlin) memutarbalikkan konsep tariannya dan memiliki pengaruh besar pada kegiatan selanjutnya. Ketertarikannya yang kuat untuk menembus batas ekspresi fisik mengantarkannya pada banyak kolaborasi dengan seniman berkemampuan campuran seperti Roland Walter (Berlin), Sung Kuk Kang (Seoul) dan Zan-Chen Liao (Taipei).
Kolaborasi internasional seperti inkBoat (San Francisco), Stasiun Tableau (San Francisco), CAVE (New York), Teater Poema (Moskow), Teater Salad (Seoul) dan lainnya.
www.cokaseki.com