SISKA APRISIA

Siska Aprisia

The Sound After the Solitude #2

Studio Plesungan akan kembali bersama On Stage edisi ke-18 pada hari Jumat, 31 Mei 2024 di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah.  Kali ini, On Stage akan menampilkan karya The Sound After the Solitude #2 oleh Siska Aprisia. Karya ini merupakan versi kedua dari karya The Sound After Solitude yang sebelumnya ditampilkan pada tahun 2021. “The Sound After Solitude #2” melanjutkan eksplorasi mendalam yang sudah dilakukan Siska sejak 2016 terhadap silek Ulu Ambek, sebuah silat tradisi dari Pariaman, Minangkabau. Tradisi silek Ulu Ambek adalah silat bathin yang dilakukan tanpa bersentuhan fisik dan dilakukan oleh para pemuda / laki-laki di Pariaman. Kini dipelajari oleh Siska dan ditafsirkan sebagai petuah yang tersampaikan melalui kerja gerak tubuh.

Ulu Ambek adalah silat tradisi yang berkembang di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Berbeda dari silat lainnya, Ulu Ambek adalah silat batin, tanpa bersentu han fisi k. Si lat ini hanya untuk laki-laki. Ulu Ambek hadir sebagai alat komunikasi antar manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, dan manusia sesama manusia. Pada Silat Ulu Ambek perempuan tidak diizinkan hadir dan berada di dalam gelanggang. Namun bisa menyaksikannya dari luar. Gelanggang berbentuk segi empat, yang lantainya terbuat dari bambu yang berlapis seng. Di atasnya pesilat dan rombongan duduk mengitari gelanggang dan di atasnya ada kain yang berwarna-warni di sebut «tabiah».
Kuatnya energi spiritual yang hadir saat Ulu Ambek berlangsung membuat para pesilat harus berkonsentrasi serta waspada. Jika tidak, maka malu lah yang di bawa pulang oleh pesilat. Malu yang ditanggung bukan hanya untuk diri pribadi, tapi satu kaum dan satu desa ikut menanggung. Kalah yang dimaksudnya dalam silat Ulu Ambek bagaimana cara melihatnya? Karena tidak bersentuhan secara fisik, bukan berarti tidak bertarung secara batin dan spiritual. Kalah di dalam istilah silat Ulu Ambek di sebut «buluih». Lawan di sebut Buluih saat ketahuan tidak fokus dan menerima kiri man penyakit dari lawan ke dalam tubuhnya.
Tubuh pesilat Ulu Ambek sebagai tubuh sehari-hari terlihat biasa saja, namun mata, tangan dan kaki selalu berada pada ruang kewaspadaan yang tinggi. Ketika ada yang mendekat tidak perlu menunggu lama tangan dan gelagat tubuhnya sudah seperti bersiap, apalagi saat berada di atas gelanggang. Gerakan yang seolah-olah seperti ayam , membuat gerakan yang terlihat sangat pelan dan penuh kehati-hatian, namun sesekali memberikan aksentuasi pada gerakan sambil meliuk dengan tegas menjadi sebuah dinamika tubuh yang kompleks. Secara batin gejolak tubuh dan tempo jantung harus lah terlihat tenang, jika tidak lawan akan mengetahuinya lewat mata. Maka suara hentakan keras dari kaki, serta suara vokal hep tah tih menjadi peringatan dari pesilat ke pesilat lawan agar berhati-hati. Hep tah tih keluar sebagai vokal internal dari dalam tubuh seakan-akan mengatakannya seperti peringatan 1, 2 dan 3.

Pada tahun 2023 dalam Temu Seni Indonesia Bertutur di Riau, Siska melakukan riset yang lebih mendalam tentang ungkapan dinamika dan ketegangan yang muncul dari pertemuannya dengan berbagai kebudayaan sebagai perempuan yang merantau. Dengan meleburkan pengalaman gerak Minangkabau dan laku tubuh selama merantau, The Sound After the Solitude #2 menerapkan kedalaman sikap sebagai sebuah metode interaksi antar personal. Seusai pertunjukan akan dilanjutkan dengan sesi bincang seniman yang akan ditemani oleh M. Hario Efenur, komposer musik asal Sumatera Barat.

Koreografer dan Penampil
Siska Aprisia

Siska Aprisia lahir pada tahun 1992 di Pariaman, Indonesia, saat ini berdomisili di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Siska menyelesaikan studi sarjana di Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Padangpanjang, dan menyelesaikan studi magister Penciptaan Tari  di Pascasarjana Institut Seni Indonesia Padangpanjang. Siska saat ini bekerja sebagai penari, koreografer dan performer sejak 2016 hingga sekarang. Akhir-akhir ini, Siska sedang mempelajari teknik gambar dan menulis naskah. Karya-karyanya bersumber pada kebudayaan asalnya di Pariaman dan Minangkabau. Salah satu riset yang sedang ia jalani berpusat pada ketubuhan silek Ulu Ambek serta perjalanan perantauan.

Karya-karyanya telah di presentasikan di Sasikirana Dance camp, Nuart Bandung 2016, Forum Lingkar Tari Yogyakarta 2017, Lapuak-lapuak diKajangi oleh Gubuak Kopi 2020, Artjog 2021, Artjog 2022, Asiatri Yogyakarta 2021-2022, Asiatri Japan 2022,  Pekan Kebudayaan daerah Sumatera Barat 2022, Ruang Waspada 2022 pada program Ruang dalam Project oleh komunitas Sakatoya, Ruang Waspada 2023 pada program Cabaret Chairil oleh Teater Garasi, Tunduk Pada Tanah (2023) pada Festival Legusa, The Connecting 2024, pada Pra Event Artjog di Komunitas Salihara Jakarta. Terpilih sebagai penari dan kolaborator di hip-hop company (Cie xpress) Prancis dari 2019-2025, melakukan tur, workshop, dan residensi selama dua bulan melalui program kerjasama Sasikirana dengan Institut France Indonesia.

Penanggap dan Pemantik Bincang Seni
M Hario Efenur

M. Hario Efenur, AKA Uncu, adalah seorang komposer, pemain musik berbasis tubuh, dan instrumentalis Indonesia yang tinggal di Lasi, Sumatra. Hario juga seorang peneliti dan penikmat kebudayaan etnis Minangkabau asal Sumatera Barat. Hario memiliki katalog karya nyanyian akapela hingga musik dari tepukan tangan, musik tubuh, ansambel bilik, sampai band pop yang terinspirasi gaya tahun 80-an. Hario mendirikan grup musik berbasis tubuh “Candasuara” yang bersumber dari silek, seni bela diri tradisional suku Minangkabau, menciptakan karya musik yang memadukan suara, perkusi tubuh/kain, dan tepuk tangan/hentakan dengan gerakan tarung dan tari.
Hario pernah menampilkan karyanya pada beberapa ajang seperti Festival Gamelan Internasional Solo dan Festival Musik Etnis Internasional. Pada tahun 2021, ia menjadi salah satu dari dua belas komposer yang dipilih oleh Festival Musik Tradisional Danau Toba. Pada tahun 2019, dia bekerja dengan Yuval Avital di Human Signs, sebuah karya online kolaboratif. Baru-baru ini ia tampil bersama Rani Jambak untuk menafsirkan kembali naskah Minangkabau “Tambo Alam Minangkabau” menjadi pertunjukan musik di Resonant Pages, SOAS University of London. Selain itu, Hario adalah pemain ukulele dan vokalis di Orkes Taman Bunga, sebuah band pop yang berupaya membuat budaya rakyat Sumatera dapat diakses oleh khalayak yang lebih luas. Bersama-sama, ia dan istrinya menjalankan Rumah Gagas, sebuah laboratorium dan ruang kreatif untuk pertunjukan kontemporer dan eksperimental.